happy sunday

happy sunday

Sabtu, 06 November 2010

Jejak Dinosaurus Ditemukan

22 Maret 2010 437 views No Comment
jejak-dinosaurSebuah media resmi di China melaporkan bahwa lebih dari 3000 jejak dinosaurus ditmukan di China. Jejak tersebut ditemukan di tempat yang konon katanya kaya akan tulang-belulang hewan zaman prasejarah itu.
Jejak tersebut ditemukan saat dilakukannya evakuasi selama tiga bulan di sebuah selokan di Zhucheng, sebelah timur provinsi Shandong. Jejak tersebut berukuran panjang 10 sentimeter-80 sentimeter.
Seorang ahli dari Chinese Academy of Sciences, Wang Haijun, mengatakan, jejak-jejak tersebut menghadap ke arah yang sama. Ini mengindikasikan pergerakan migrasi yang menandai kepanikan dari dinosaurus pemakan tumbuhan ini yang diduga diserang kelompok hewan pemangsa (predator) dinosaurus.
Wang menambahkan, para ahli arkeologi telah menemukan fosil dinosaurus pada 30 situs di Zhucheng, yang dikenal sebagai Kota Dinosaurus. (g/d)

Fosil Burung Raksasa dengan Paruh Tajam

6 September 2010 291 views No Comment
fosil-burung-raksasa-berparuh-tajamDITEMUKAN fosil burung seberat 90 pound yang pernah hidup di Afrika Selatan. Burung pemakan daging ini diprediksi memiliki ukuran kepala dan paruh besar yang ujungnya tajam.
Menurut penelitian, paruh tajam dari burung raksasa tersebut mungkin digunakan untuk mematuk mangsanya hingga tewas. Demikian seperti dikutip dari Press Association.
“Burung raksasa yang bernama Andalgomis ini memiliki ukuran paruh yang besar, memungkinkan untuk mematuk mangsanya hingga tewas dengan brutal,” ujar Lawrance Witmer dari Ohio University College of Osteopathic Medicine.
“Bentuk dari kepala mereka memang dirancang sebagai burung pemangsa yang mengerikan. Mereka bisa menggunakan paruh mereka yang kuat untuk merobek daging dari mangsanya,” Para peneliti pun masih terkejut akan temuan mereka tersebut.” papar Witmer.(okz/int/d)

Puisi kepada Jerawat

13 Maret 2010 1.048 views 3 Comments
Jerawat…oooh jerawat
Kau tumbuh subur menutupi Jidat
Kau buat mukaku terasa pekat
Jika kupijat mukaku langsung pucat
Jerawat…oooh jerawat
Karena kau hari-hariku terasa berat
Karena kau mukaku seperti tak terawat
Jika kuberkaca ingin rasanya cermin kusikat
Jerawat…oooh jerawat
Kau terus bertambah seolah menjerat
Kau bisa menyebabkan aku berbuat nekat
Jika kubiarkan mukaku pasti sekarat
Jerawat…oooh jerawat
Kini tampangku semakin berkarat
Kupencet satu timbul empat
Kupencet di jidat timbul di pantat
Dasar jerawat!(ktwc/d)

Humor Tentang Hari Valintine (day)


Selamat Hari Kasih Sayang
Seorang siswa SMA malas mempersiapkan diri menghadapi ulangan pada malam Hari Kasih Sayang yang selalu ia rayakan bersama dengan pasangannya. Keesokan harinya, pada lembar jawaban ia hanya menuliskan keluh kesahnya.
“Soal-soal ini terlalu sukar. Cuma Tuhan yang bisa menjawabnya.
Selamat Hari Kasih Sayang, Bu.”
Ketika pulang sekolah, ia menerima hasil ulangan bertuliskan:
“Tuhan dapat 100, kamu dapat 0, Selamat Hari Kasih Sayang”

AHHAHAHA ANEH :*

Pameran Lukisan

28 Maret 2010 596 views No Comment
SUATU hari seorang presiden sebuah negara pergi melihat pameran lukisan-lukisan.
Karena saat itu beliau mengalami sakit mata dan penglihatannya kabur, maka ia mengajak satu ajudannya  menuntunnya.
Presiden : “Wah, lukisan ini bagus. Gambar ikannya bener-bener hidup.”
Ajudan: “Shttt… Jangan keras-keras pak. Itu gambar buaya.”
Kemudian mereka berpindah ke lukisan lain.
Presiden: “Gambar gajah ini benar- benar gagah.”
Ajudan: “Shttt… Ojo keras-keras Pak. Itu gambar banteng.”
Presiden itu kemudian menahan diri memberi komentar sampai ia tiba pada satu pojok ruang pameran dia berseru:
“Wah, sing iki apik tenan. Lukisan gorila nya begitu nyata anatominya.”
Ajudannya langsung tertegun dan berkata:
“Pssttt…. Jangan keras-keras pak. Itu cermin!”.

Senyuman Terindah dan Terakhir

6 Desember 2009 22.615 views 37 Comments
cerpen-tentang-kenanganSyla amila, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku sangat mengenal Syla, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan yang menerpanya. Se-nyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seorang yang dianugerahi kecerdasan oleh Al-Wahhab.
Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya, membuat Syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan Syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami Syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke rahmatullah.
Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku, Syla, sekarang aku hanya sendiri menyusuri jalanan sepi.
Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan. “Cio…” terdengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik, terlihat sesosok pria tinggi, berumur sekitar lima puluhan.
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Syla, apa dia udah sadar?” tanyaku bertubi-tubi.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Syla. Alhamdullillah sekarang Syla udah sadar. Cio mau menjenguk Syla, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Kalau gitu, bareng om aja. Oom juga mau ke rumah sakit,” tawar Om Anton.
“Iya Om, Cio ikut sama Om Anton.” jawabku.
Sebelum menuju ke rumah sakit, aku dan Om Anton menuju ke sebuah toko bunga hidup. Aku memilih tiga batang bunga anggrek putih, dan Om Anton memilih serangkaian bunga anggrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipilih, kami langsung menuju ke rumah sakit.
“Syla…” kataku sembari mendekapnya penuh kerinduan. Kesepianku terobati, bibirku yang tadinya datar karena nilai ulanganku yang di bawah standar, menjadi sebuah lengkungan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.
“Syl… kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi. Itulah yang aku rasakan selama ini, Syl…” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan, Pa?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Syla. Walaupun Syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu  menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan Syla seakan tak dapat diselamatkan. Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi Om Anton, ia takut kehilangan gadis kecilnya yang akan genap berusia empat belas tahun.
***
Seperti biasanya, hari ini pun aku akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar dengan sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit makhluk hidup yang hanya berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Syla seperti makhluk yang tak berdaya, hidung, mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak hentinya mengalir. Dokter,dan perawat berusaha menghentikan darah yang mengalir. Hatiku getir. Tak kuasaku menahan tangisan ini, begitu juga dengan Om Anton yang tak hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Bibir Syla sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sulit baginya untuk menggerakkannya, hanya menangis yang dapat Syla lakukan. Setelah itu kulihat senyuman terindah dari bibirnya.
Tak lama hal itu berlangsung, nafas, serta detak jantung Syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti Om Anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa…” teriakku berbarengan de-ngan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan Om Anton. Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
***
Sabtu, empat belas Februari. Aku pergi ke toko bunga hidup, kali ini aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk berziarah ke makam sahabatku, Syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam Syla, hanya beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat seseorang berada berada di makam Syla. Kuperhatikan orang itu. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan beranjak dari makam Syla.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam Syla. Saat berpapasan ternyata orang itu adalah Om Anton. Ia menyapaku dan tersenyum, lalu ia bilang padaku bahwa Syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin Om Anton hanya  bercanda. Aku hanya tersenyum, dan berjalan menuju makam Syla.
Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi di atas makam Syla. Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang pada Syla. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau lebih tepatnya seseorang. Wajahnya mirip dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman terakhir Syla. Kubalas senyum itu, seketika ia menghilang.
Mungkinkah itu Syla….?***

Sebait Puisi Kala Desember

21 Desember 2009 5.559 views 6 Comments
Pagi ini tak seperti pagi-pagi kemarin. Matahari sudah tak enggan lagi bersinar dengan kecerahan yang sempurna. Sudah tak ada lagi awan hitam yang menyembunyikannya. Yang ada justru awan-awan putih seperti kapas yang bergerak lamban ditiup angin sepoi. Dengan background langit biru.
Burung-burung pun seolah ikut berperan. Suara-suara cicit yang terdengar bukannya membuat berisik melainkan seperti melodi yang akan menjadi pembuka kisah hari ini. Ia terbang kesana-kemari, bertengger dari satu pohon besar ke pohon besar lainnya. Saling menyenandungkan lagu yang hanya mereka  yang mengerti artinya. Merekalah satu-satunya yang membuat tempat ini tak benar-benar sepi.
Semangatku pun lahir dengan hadirnya pagi yang penuh warna ini. Setelah kemarin aku merasa sendiri, kesepian. Gara-gara hujan tak  berhenti turun selama satu minggu, tak ada satu orang pun yang datang ke tempatku. Aku memang sudah hampir satu bulan tinggal di sini. Jadi setiap hari aku selalu berharap ada orang yang mau datang ke rumah baruku, tak diajak mengobrol pun tak apa, mereka sudah datang melihatku saja aku sudah senang.
Awalnya aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di sebuah rumah kos bersama beberapa teman yang kuliah di universitas yang sama denganku. Kami semuanya berjumlah dua puluh orang. Bayangkan betapa ributnya rumah yang ditinggali dua puluh wanita yang dikenal sebagai makhluk  yang rumit. Setiap hari setiap orang membawa masalah yang berbeda-beda. Mulai dari soal cinta, tumpukan tugas-tugas dari kampus, sampai masalah kewanitaan. Tak ada lagi yang dirahasiakan.
Aku rindu dengan semua itu. Saling berbagi dan  kadang-kadang saling marah seperti anak kecil berkelahi. Apalagi aku dikenal sebagai orang yang tak bisa diam, hiperaktif, kata mereka.
Maka ketika harus berpisah dari mereka dan tinggal sendiri, tanpa siapa-siapa, membuat aku menangis setiap malam. Semoga saja tak ada yang mendengar suara tangisanku. Sebenarnya aku juga tak mau hidup seperti ini, sebatang kara seperti tak punya siapa-siapa. Tapi apa mau dikata, jalan hidup masing-masing orang sudah ada yang mengatur. Aku  tak bisa apa-apa.
Ah, kenapa aku seperti menyalahkan takdir. Seharusnya aku yakin bahwa Tuhan memiliki maksud di setiap rencana-NYA. Dia juga pastilah memiliki suatu rencana dengan menempatkan aku di sini. Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik buatku melebihi diriku sendiri.
Seperti pagi ini, aku  yakin pasti akan ada orang yang datang mendatangiku. Kalau  tidak mengapa  dia membiarkan matahari bersinar di bulan musim penghujan, Desember. Suatu hal yang tidak biasa. Ketika pikiranku tengah asyik melayang-layang dari teman-teman kos, rumah baruku, sampai takdir Tuhan, tiba-tiba saja satu keajaiban datang.
Sebuah mobil berhenti di depan. Aku berusaha menajamkan penglihatanku demi apa yang sekarang aku saksikan. Dua sosok, seorang pria dan seorangnya lagi wanita, turun dari kendaraan yang baru saja membawa mereka ke sini. Aku biarkan mereka berjalan mendekatiku.
Semakin dekat aku mampu mengenali keduanya. Yang perempuan, Mela, dia bukan saja teman satu kosku dulu tapi dia juga teman satu kampusku. Maka jadilah kami bersahabat. Dia tahu semua tentang diriku, begitu juga aku tahu semua tentang dirinya. Tak ada yang kami rahasiakan. Sama-sama tinggal jauh dari keluarga membuat kami seperti kakak-adik.
Dan laki-laki yang bersamanya adalah Kokoh. Tapi dia tak seperti namanya, tak sekuat namanya. Apalagi setelah berpisah denganku. Tepatnya aku yang meminta kami untuk berpisah. Ia tak bisa menerimanya dan meminta alasan mengapa aku lakukan itu. Aku bilang tak tahu, ia tak percaya. Padahal aku memang benar-benar tak tahu. Aku sendiri tak bisa mengenali perasaan apa waktu itu yang membuat aku yakin untuk memutuskan hubungan kami. Hubungan yang bahkan sudah hampir menuju ke arah pernikahan.
Mereka berdua tepat berdiri di depanku, lalu tanpa kupersilahkan mereka serentak berjongkok. Aku sudah berniat untuk berhenti menangis tapi aku tahu kali ini akan gagal.
Aku yakin, pasti Mela yang membawanya ke sini. Pasti Kokoh yang memaksa sahabatku itu untuk menunjukkan tempat baruku. Aku sengaja meminta Mela untuk jangan menginformasikan apapun perihal hidupku kepada Kokoh. Biarlah cerita perpisahan kami menjadi akhir atas segalanya. Jangan ada lagi lanjutannya, Kokoh sudah cukup tersakiti. Aku tak mau menambah sakitnya jika ia tahu yang sebenarnya. Tapi sahabatku itu tak akan sanggup membiarkan seorang pria menangis di hadapannya. Kokoh, bahkan aku lebih kuat darinya.
Dan drama pagi ini benar-benar dimulainya dengan isakan dengan kepala yang tertunduk dalam. Mela ikut me-nangis. Aku memohon supaya mereka jangan menangis. Sia-sia, tak ada seorangpun yang bisa mendengar suaraku. Aku pun ikut menangis. Aku juga terluka dengan perpisahan ini. Bahkan lebih terluka dari luka yang  mereka punya.
Aku  tidak saja harus berpisah dengannya dan teman-teman yang lain, tapi juga orang tuaku. Parahnya aku juga harus berpisah dengan dunia-tempat di mana selama ini aku ada.
Isakan itu mulai berhenti namun tak menghentikan isakanku kare-na kalimat yang diucapkannya membuat aku ingin hidup kembali. Mustahil akan terjadi.
“Aku masih mencintaimu, Bidadariku. Bagaimana denganmu?” Dadaku bertambah sesak, seharusnya dia tak menanyakan itu. Dia pasti tahu jawabanku sekarang. Aku masih sangat mencintainya.
Mela mengerti itu. Ia sentuh pundak Kokoh, dengan isakan yang semakin kuat, ia mengatakan, “Jangan menanyakan itu, Ko. Fara akan sedih mendengarnya.”
Seolah-olah tak menghiraukan apa yang dikatakan Mela, Kokoh melanjutkan kalimatnya, “Maaf, Bidadariku, aku membiarkanmu menanggung rasa sakit sendirian. Aku telah menyalahkanmu padahal aku  tak tahu apa-apa tentangmu.”
Aku memang tak memberitahu Kokoh tentang penyakitku. Penyakit yang menurut para dokter akan mengambil jatah hidupku dengan sangat cepat. Aku mencela mereka saat itu, tahu apa manusia tentang ajal.
Lama-kelamaan penyakit itu seperti mengambil semua ketahanan tubuhku. Aku jadi ikut membenarkan diagnosa para dokter bahwa aku takkan bisa bertahan hidup lebih lama. Aku sangat sedih tapi aku tak mau membuat orang lain menjadi sedih dengan keadaanku. Pikiran itu yang membuat aku memutuskan untuk merahasiakannya sendirian.
Akhirnya aku putuskan hubunganku dengan Kokoh secara sepihak. Sekarang aku baru tahu mengapa aku melakukannya. Aku ingin membuat Kokoh siap atas kepergianku nanti. Membiarkan ia manjalani hari-harinya tanpa aku lagi. Biar jika ketiadaanku yang sebenarnya datang, dia sudah terbiasa. Firasatku akan datangnya kematian memang sangat kuat saat itu.
Dan itu sama sekali tak salah. Satu bulan setelah kami berpisah aku dijemput malaikat bersayap dari langit. Kokoh sama sekali tak tahu berita kematianku. Ia sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan proyek kantornya. Tak ada satu pun yang memberita-hunya karena orang-orang menganggap apa yang terjadi padaku sudah tak penting lagi untuk diketahui oleh Kokoh.
Kematianku begitu mudah, begitu indah. Mungkin karena aku telah bersiap-siap akan itu.
Tengah  hari, matahari kini tepat berada di atas kepala. Mereka berdua pasti sangat kepanasan. Setelah membacakan doa untukku, Kokoh mencium nisan bertuliskan:
ELFARA binti ARYO DIMA
Lahir
08 April 1989
Wafat
30 November 2009
Secarik kertas bertuliskan puisi diletakkannya di atas gundukan tanah-rumah baruku- dengan serakan bunga-bunga yang baru mereka taburkan. Kokoh tahu aku sangat menyukai puisi.
Kemudian mereka berbalik meninggalkan pemakaman ini. Aku memandangi keduanya, maafkan aku meninggalkan kalian lebih dulu, bisik hatiku.
Setelah benar-benar hilang dari pandanganku, barulah aku membaca puisinya.
Untuk bidadariku yang telah
Pergi
Tak tahu aku
Apa akan ada lagi yang seperti kamu
Biar aku tenggelam dalam waktu
Menantinya akan menjemputku
Seperti dia menjemputmu
Aku rela
Percayalah, aku rela
Aku tersenyum, senang mengetahui isi puisi itu. Kokoh memang bukan laki-laki yang kuat tapi dia mampu untuk ikhlas.