happy sunday

happy sunday

Kamis, 04 November 2010

resensi spring in london


Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai sekarang aku belum mengatakannya karena… yah, karena berbagai alasan. Dan alasannya utamanya adalah karena aku takut.
Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kau berikan?
Apakah kau akan menerima pengakuanku?
Apakah kau akan percaya padaku?
Apakah kau masih akan menatapku seperti ini?
Tersenyum padaku seperti ini?
Atau apakah kau justru akan menjauh dariku?
Meninggalkanku?
Tapi aku tau aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.
Jangan pergi dariku.
Tetaplah disisiku.
Gadis itu tidak menyukainya. Kenapa?
Astaga, ia (Danny Jo) adalah orang yang baik. Sungguh! Ia selalu bersikap ramah, sopan dan menyenangkan. Lalu kenapa Naomi Ishida menjauhinya seperti wabah penyakit? Bagaimana mereka bisa bekerja sama dalam pembuatan video musik ini kalau gadis itu mengacuhkannya setiap saat? Kesalahan apa yang sudah dia lakukan?
Bagaimanapun juga Danny bukan orang yang gampang menyerah. Ia akan mencoba mendekati Naomi untuk mencari tahu alasan gadis itu memusuhinya.
Tetapi ada dua hal yang tidak diperhitungkan Danny. Yang pertama adalah kemungkinan ia akan jatuh cinta pada Naomi Ishida yang dingin, misterius, dan penuh rahasia itu. Dan yang kedua adalah kemungkinan ia akan menguak rahasia gelap yang bisa menghancurkan mereka berdua dan orang-orang yang mereka sayangi.
***
ketika pertama kali lihat novel ini di rak buku Gramedia, gak perlu berpikir dua kali, langsung ambil dan bayar!
Di novel ini diceritakan kisah cinta antara Danny Jo dan Naomi Ishida. Danny Jo adalah temannya Jung Tae-Woo (Summer in Seoul), sedangkan Naomi Ishida adalah saudara kembar dari Keiko Ishida (Winter in Tokyo). Bahkan sebelum membacanya saya sudah tau kalo tokoh yang ada di novel ini mempunyai hubungan dengan tokoh di novel sebelumnya. Itulah hebatnya Ilana Tan!
Spring in London, Winter in Tokyo, Autumn in Paris, Summer in Seoul. Itu adalah keempat novel karya Ilana Tan yang pernah saya baca. Bisa dilihat kaitan keempatnya, bersetting di kota besar dan berhubungan dengan musim. Empat musim telah diceritakan Ilana Tan, jadi akankah Ilana Tan menulis lagi?? Saya harap begitu, mungkin Ilana Tan bisa menulis tentang ”Musim hujan di Jakarta”, atau ”Musim kemarau di Makassar”,

Sejak membaca novel pertamanya, saya sudah kagum sama Ilana Tan ini. Cerita di novelnya sangat bagus, tidak mudah ditebak endingnya. Gaya menulisnya juga membuat kita merasakan kebahagiaan atau kesedihan yang dialami sang tokoh.
Tapi siapa sebenarnya Ilana Tan???
Biasanya di bagian belakang setiap novel selalu ada biografi singkat beserta foto si penulis. Tapi tidak pada novel-novel Ilana Tan. Memang ada sedikit penjelasan tapi bukan biografi, foto pun tak ada.
”Autumn in Paris adalah novel kedua Ilana Tan. Novel pertamanya, Summer in Seoul juga diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Selain menulis, Ilana juga menikmati film, buku, dan bahasa asing. Kini ia menetap di Jakarta, dan bekerja di bidang yang disukainya.”
Penjelasan seperti itu bahkan tidak ada di ”Spring in London”. Saya sudah mencari info di google, tapi tidak ditemukan data tentang Ilana Tan. Yang ada hanya informasi tentang novel-novelnya. Atau mungkin Ilana Tan hanya nama Pena??? Well… siapapun Ilana Tan, saya akan terus menunggu novel-novel karyanya.
***
London, adalah kota impian. Menempati urutan pertama dalam daftar kota di luar negeri yang ingin dikunjungi, sehingga tak heran orang sangat "berselera" dan bersemangat untuk segera merampungkan-baca novel ini. Bayangan akan keindahan negeri dongeng raja dan ratu serta Harry Potter yang populer banget, apalagi dalam balutan musim semi yang sejuk, nyatanya tidak begitu terasa. Ilana terlalu sibuk membangun hubungan aneh antara Naomi dan Danny yang sayangnya juga tidak berkesan. Maka sepanjang novel, hanya disuguhi jalinan cerita tentang seorang laki-laki yang mati-matian menarik minat seorang gadis yang nggak jelas maunya apa (di mata si lelaki). Sentilan masalah yang dilontarkan menjelang titik kulminasi terbongkarnya masa lalu Naomi hanya memberi efek tegang sesaat, begitu materi masa lalunya dibeberkan,membuat kecewa. Masa lalu yang biasa untuk menjadi sebuah pengungkit kejadian traumatik.

Yang juga terlihat kurang bagus di detail adalah usaha Ilana untuk menunjukkan bahwa setting cerita ada di kota-nya Lady Diana. Hampir tak secuil pun ada kalimat dalam bahasa Inggris - yang agak janggal bagi novel urban modern masa kini- (yang beberapa kali ditunggu, untuk sekadar mengingatkan bahwa kita sekarang ada di London). Dan, usaha Ilana untuk meng-Inggris-kan novelnya hanya dari seringnya dia mengunakan idiom "Oh, dear" yang memang khas Inggris banget. Sayang, konsistensi penggunaan idiom itu menjadi satu yang agak annoying akhirnya. Kelihatan sekali bahwa Ilana ingin mengesankan si tokoh ada di negeri Britania Raya. Too bad! Nggak sukses! Kalau sempat iseng, hitunglah berapa kali kata oh, dear itu muncul.
Entah sudah kadung "diracuni" infotainment di televisi/majalah/tabloid atau situs gosip sehingga selalu terdoktrin bahwa artis/selebritis itu paling tidak ada saja wartawan yang menguntit mencari berita sensasi tentang diri si artis. Nah, kenapa tidak mendapati sedikit saja sensasi glamor dari kehidupan Naomi - Danny, yang ceritanya Naomi pernah ikut London Fashion Week dan Danny yang adalah bintang iklan favorit di Korea? Oh, come on, di indonesia saja ada banyak majalah dan tabloid yang isinya artis-artis Asia timur apakah di negeri mereka sendiri mereka tidak diberitakan? Berarti mereka bukan artis yang ngetop-ngetop banget ya.

Kesalahan teknis percetakan juga banyak sekali, "ketikan yang kacau nggak akan bikin cerita yang bagus jadi amburadul," yang sayangnya sama sekali tidak berguna bagi yang menyukai karya tulis yang diproduksi secara cermat. Karya tulis yang menghargai ke"awam"an dari pembacanya, sehingga meminimalisai segala bentuk kesalahan cetak agar tidak mengurangi kenyamanan dalam membaca. Maka, perpaduan antara segepok kesalahan teknis, minimnya konflik yang merangkai cerita, goyahnya beberapa karakter kunci, skenario klise yang gampang ketebak, serta diksi yang kelewat minim dan sering berulang membuat novel ini menjadi seri terjelek dari metropop seri musimnya Ilana. Semoga saja, di novel berikutnya Ilana lebih bisa mengeksplorasi tema dan plot yang berbeda sehingga dapat menyuguhkan novel yang tetap romantis namun berbobot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar